Selasa, 07 Maret 2017

WAHAI KAWAN ! JADILAH PARA NORMAL


WAHAI KAWAN !  JADILAH PARA NORMAL
Oleh:
Wildan Kurnia Saputra
Semakin hari rasanya manusia semakin sulit ‘menjadi manusia’. Lho, kenapa ? Banyaknya tekanan yang menjitak atau bahkan mendorong manusia untuk jatuh terjerembab dalam kesesatan. Kebutuhan hidup yang semakin kompleks, harga sembako meroket tinggi sedangkan mencari uang susahnya minta ampun. Sistem ekonomi yang diterapkan hanya menguntungkan segelintir orang, dan di saat bersamaan menggilas rakyat jelata.

Sebagian kalangan bahkan, mau tidak mau harus terjun ke jurang terjal dalam bentuk prilaku-prilaku yang menyimpang menurut etika sosial dan salah dalam kacamata agama. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari tekanan ekonomi, dililit utang, balas dendam dan ambisi yang serakah. Akibatnya, teror anti ketenangan, ketentraman dan kedamaian terjadi di mana-mana. Sehingga para orang tua, remaja atau bahkan anak-anak yang terdesak sandang, pangan dan papan rela terjun ke kawah kriminalisasi, menjadi pencuri, perampok, penipu, penodong dan sederet aksi-aksi lain yang berbau kriminal. Baca selengkapnya.


Sebagian melakukannya murni karena keadaan, murni karena tuntutan untuk hidup, sehingga mereka yang cenderung berpikir instan akan berkata: Dari pada begini, dari pada begini. Ya lebih baik begitu. Dari pada anak istri mati kelaparan, ayah ibu lapar tak dapat makan, ya lebih baik ambil jalan pintas, jadi pencuri, perampok, pengedar ganja yang harganya mahal, jadi pelacur pemuas nafsu lelaki hidung belang dan lain-lain dan lain-lain. Bahkan, ada yang sampai mau dibuat jadi robot pembunuh, dengan bayaran yang cukup tinggi dari sang majikan.

Terlepas dari pandangan lemahnya, agaknya memang benar apa yang disabdakan oleh Nabi tercinta Muhammad saw:

كادَ الفَقْرُ أنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Hampir-hampir kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran” (Imam al-Baihaqi dalam kitab “Syu’abul Iman” no. 6612)

Ada juga yang sulit ‘jadi manusia’ semata-mata karena ingin memperkaya diri, keluarga dan golongan. Tamak akan harta dan haus kedudukan. Siapa mereka ? Mereka adalah orang-orang yang punya uang banyak tapi masih belum sadar kalau ia sudah jadi beruang. Mereka orang-orang yang punya kursi jabatan, tetapi masih menginginkan kursi yang lain lagi dan yang lain lagi. Mereka adalah pejabat yang tidak sadar kalau kedudukannya  sebagai ‘pelayan masyarakat’, lantas dengan bangga mengeruk uang negara dengan dalih begini dan begitu.

Hidupnya dihabiskan dengan menjadi budak harta, uang, jabatan dan berbagai macam hura-hura dunia yang melenakan itu. Mereka belum sempat –mungkin terlalu parah kalau kita katakan tidak pernah- melirik nasib orang-orang miskin disekitarnya. Kalaupun mau atau disuruh beramal, recehanlah jurus jitu pengelabuhan. Kalau tidak pasti ada udang dibalik batu.

Di lain kasus, muncul ‘orang-orang biasa’ yang juga semakin sulit untuk jadi ‘manusia normal’. Orang-orang semacam ini berada di antara dua kubu yang penulis sebutkan di atas. Karenanya, tabiatnya pun sama. Jika kelompok pertama sulit menjadi manusia normal ialah karena kemiskinan dan kefakirannya, maka kelompok ketiga ini tak ubahnya seperti kelompok kedua –kelompok beruang- yang sulit menjadi manusia normal karena sifat tamak dan serakahnya. Jangankan ‘menjadikan’, wong menyulapnya saja rasanya tidak mungkin. Tentu saja jika dia tetap berkutat pada prinsip tamak dan serakahnya. Kalau taubat itu lain persoalan kan. Hehe.

Merekalah orang-orang yang mempunyai kekuatan ekonomi yang biasa-biasa saja, tidak bisa kita sebut kaum elit, namun dipanggil kaum pemulung pun juga tidak pas. Kelompok tengah-tengah. Lantas, apanya yang salah ? Ya itu, tadi. Mereka yang mengadopsi langkah-langkah kelompok beruang.

Karena keadaan mereka yang serba pas-pasan, mereka bersikeras untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sampai di sini memang tidak ada masalah. Tetapi kemudian, mereka jadi mendewa-dewakan pekerjaan, memuja muji kerja keras dan harta berlimpah yang belum ada dalam genggaman. Akibatnya, perhatiannya kepada agama, kepada nabinya, kepada Tuhannya menjadi berkurang. Memang, keyakinan mereka mula-mula terkikis sedikit demi sedikit, tapi lambat laun menjadi hilang tanpa bekas. Dibabat habis oleh tuhan baru yang mereka puja.

Persis seperti yang disabdakan Nabi saw:

إِقْتَرَبَ السَّاعَةُ وَلَايَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
Jika hari kiamat telah hampir terjadi, sifat manusia tidak akan bertambah kecuali semakin rakus (akan harta dunia) dan mereka tidak bertambah dekat kepada Allah, melainkan semakin jauh dari-Nya. (HR. Thabrani)

Manusia yang sulit untuk ‘menjadi manusia’, selanjutnya tidak lain ialah orang-orang yang ‘berilmu agama’ tetapi masih belum mengetahu bagaimana cara ‘beragama’ yang benar. Merekalah para kiai, ustadz dan tuan guru yang masih belum jadi kiai, masih belum jadi ustadz dan tuan guru dalam arti yang sesungguhnya. Mereka masih sibuk berkhutbah, ceramah, mengajar dan berpidato. Lantas, lupa mengenai siapa dirinya yang sebenarnya, lupa kepada ajaran yang ia dakwahkan sendiri, dan tanpa sadar ia lupa dengan Allah dan Rasul-Nya. Ia hanya sibuk menjaga  jamaahnya supaya semakin banyak dan lantas terpekur dengan ceramahnya. Dengan cara itu amplop honor yang ia terima menjadi semakin tebal dan banyak.

Dan atau masih sibuk membela pemahaman-pemahaman keagamaan yang mereka gondol dan mereka akui sebagai kebenaran mutlak itu. Sehingga tidak menerima untuk dikritisi dari pihak lain. Kalaupun ada yang coba menyanggah atau membetulkan, lantas mereka mencak-mencak tidak karuan sembari mengeluarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang sudah dimanipulasi. Mereka masih belum mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj [22]: 74)

Mendengar ini, mungkin anda akan bertanya: Ah ! Ada-ada saja, masak ada kiai dan  ustadz tuan guru yang begitu ? Saya jawab: Mungkin–mungkin saja alias bisa-bisa saja. Lho, kok bisa ? Kan kiai juga manusia, ustadz juga manusia, demikian pula dengan tuan guru. Untuk fakta di lapangan, silahkan anda flash back di internet atau di koran-koran yang memberitakan mengenai kasus-kasus kriminal yang menimpa beberapa ‘tokoh agama’ di tanah air Indonesia tercinta ini. Penulis merasa tidak enak jika harus menyebut nama-nama mereka, meskipun kabarnya, ada yang sudah taubat dan kembali ke jalan Allah.

Sebenarnya, inti masalahnya adalah bukan pada titel kiai dan tidak kiai, bukan pada ustadz dan bukan ustadz, bukun juga pada yang berpredikat tuan guru dengan yang tidak menyandang predikat tersebut. Melainkan, ada dalam tradisi penyebutan kita sebagai masyarakat. Kita seringkali menaruh cap kiai pada seseorang tapi menurut Allah dia bukanlah seorang kiai, atau kita dengan senang dan berbangga diri men-tuan guru-kan tokoh agama kita, guru kita, atau orang tua kita misalnya, tetapi di mata Allah dia bukan seorang tuan guru.

Kenapa ? Karena orang yang benar-benar kiai adalah orang yang tahu cara menuhankan Allah swt. Ia beragama sekaligus berilmu agama. Seorang ustadz dalam arti sesungguhnya adalah ia yang rela megabdikan seluruh materi, seluruh kekuatan dan hidupnya demi kejayaan agama Islam yang dicintainya. Begitu juga dengan orang yang sebenarnya jadi tuan guru, ialah orang yang kualitas keberagamaannya sudah mencapai peringkat lillahita’ala.

Jadi, ceramahnya bukan sekedar pemikat, pidatonya bukan sekedar doktrin agar supaya orang ramai-ramai datang ke majlisnya. Melainkan, semata-mata untuk li i’laa kalimatillah izzul Islam wal muslimin. Yang ada hanya Allah semata dalam hidupnya. Dia tidak punya keinginan pribadi, yang ada hanya keinginan Allah. Dia adalah seorang yang mengabdi untuk agama terhebat, Nabi tercinta, dan Tuhan yang tiada dua-Nya.

Benarlah apa yang difirmankan Allah swt dan memang Dia selalu benar:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir [35]: 28)

Ya, begitulah memang. Sekarang, jika saya bertanya pada anda: Maukah anda menjadi keempat golongan yang ‘tidak normal’ itu ?. Sudah bisa dipastikan, pasti anda akan manggut-manggut dan lantas mengatakan ‘tidak !’. Kok bisa ? Lho iya. Mungkin anda akan balas mencibir saya, ‘situ yang nulis mau gak !? Wong yang nulis saja ndak mau, apalagi saya’.

Hehe. Kalau begitu, saya ucapkan selamat kepada anda. Saya dan anda sama-sama tidak mau menjadi orang fakir yang buta mata hatinya. Itu artinya, saya dan anda masih mempunyai ciri-ciri ‘orang normal’. Ya iya lah, mana ada yang mau. Istilahnya anak sekarang, ‘Udah fakir, miskin tidak punya uang, gak kenal Tuhan. Idup lagi !’

Saya dan anda pasti juga tidak mau masuk dan menjadi kelompok yang kedua dan ketiga. Mereka yang beruang banyak dan kaum pas-pasan yang ambisius dan serakah. Juga tidak ingin menjadi yang ke-empat. Orang-orang yang hanya ‘berilmu agama’ semata, tetapi tidak pernah mengaplikasikan seluruh ilmu agamanya untuk ‘hidup beragama’. Yang lantas hanya memanfaatkan predikat, label, dan gelar yang macam-macam itu. Mereka berhasil menggunakan samaran kiai, ustadz dan tuan guru untuk mengelabuhi saudara-saudara muslimnya. Hanya topeng !.

Mereka-mereka ini, kalau tidak segera bertaubat bakal mengalami akhir yang mengenaskan. Na’udzubillah min dzalik. Kalau tidak di dunia, siksa akhirat pasti didapat. Kenapa penulis berani menyimpulkan demikian ? Bukankah siksa dan nikmat itu hak priogatif Dia Yang Maha itu ?

Memang benar, itu semua murni dalam kekuasaan dan hak-Nya. Kalau Dia berkata, ‘silahkan masuk ke surga, ya masuk surga’. Kalau dicap ‘bagianmu di neraka, ya bakal nyemplung ke neraka’. Tetapi, jangan sampai kita lupa kalau Dia adalah Tuhan. Allah itu Maha Adil,  dan tidak pernah mengingkari janji. Bukankah kata Qur’an:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
Sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji. (QS. Ali-Imran [3]: 9)

Dalam ayat lain, Allah itu adalah sebaik-baik hakim:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
Bukankah Allah adalah Hakim yang paling adil ? (QS. At-Tiin [95]: 8)

Nah, sudah jelas kan. Allah tidak mungkin dan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Dalam hal aturan-aturan yang berlaku di alam semesta, Allah swt telah menetapkan dan menerapkan apa yang kita kenal dengan hukum alam, atau istilah agamanya ‘sunnatullah’. Jika anda melempar batu ke atas, maka jatuhnya akan ke bawah, karena itu hukum alamnya. Begitu juga jika anda menabur kebaikan, maka kebaikanlah yang akan anda dapat, secara langsung atau tidak langsung. Itulah sunnatullah-nya. Orang sasak mengatakan, ‘Bagus tegaweq bagus tedait, Lenge tegaweq lenge tedait !’.

Jika di tetapkan orang yang melakukan keburukan, balasannya adalah siksaan yang pedih dan bagi yang berbuat kebajikan bakal mendapatkan ‘nikmat yang indah’. Maka tanda-tandanya sudah jelas. Orang yang hanya mengejar dunia semata atau orang yang menggunakan agama hanya sebagai topeng, Allah sudah menyiapkan tempat khusus bagi mereka, yaitu neraka yang panasnya tujuh puluh kali panas api dunia. Tidak mungkin kebalik kan ?

Lantas, bagaimana dengan cerita seorang perempuan ‘pendosa’ yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing yang kelaparan ? Saya yakin anda pasti sudah mendengar kisah ini. Dari cerita ini kemudian timbul kesalah kaprahan, yang kemudian pendengarnya mulai lupa -atau bener-bener lupa- bahwa seorang pendosa tidak akan masuk ke dalam surga Allah itu. Apapun alasannya !. Jangankan cuma sekedar ‘ngasih minum anjing’, orang-orang kafir yang berdosa akibat mengingkari ke-Tuhan-an Allah dan hendak bersedekah dengan emas seukuran gunung uhud pun, mereka akan ditolak mentah-mentah oleh surga. Kenapa ? Karena mereka bukan orang normal. Mereka bukanlah orang-orang yang didambakan surga.

Allah swt berfirman dalam al-Qur’an:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَن تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلاَ أَوْلاَدُهُم مِّنَ اللّهِ شَيْئاً وَأُولَـئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka. (QS. Ali Imran [3]: 10)

Dulu, saya juga sempat menangkap pemahaman yang keliru dari cerita tersebut. Tetapi setelah dianalisa saya menemukan benang merahnya, bahwa dalam cerita tersebut digambarkan si perempuan bertaubat akibat dosa yang telah ia perbuat sepanjang hidupnya. Tentunya dengan taubat yang sebenar-benarnya. Bukan tobat sambel ! hehe. Lantas, sesaat setelah itu ia ingin minum di sebuah sumur karena kehausan. Dalam kisahnya, diceboklah air sumur itu dengan hak sepatunya yang cukup dalam. Kemudian, ketika hendak minum, seekor anjing tiba-tiba saja melongo menghampiri. Lantas, ia lihat rupa-rupanya anjing itu juga haus bahkan lebih haus dari dirinya. Tanpa pikir panjang didahulukanlah anjing itu untuk minum ketimbang dirinya.

Selanjutnya diceritakan, kalau perbuatan si perempuan tersebut adalah satu-satunya kebaikan yang ia lakukan sesudah ia tobat dan sesaat sebelum kematiannya. Kemudian ia dimasukkan ke surga karena satu kebaikan yang sudah diridhai oleh Allah itu.

Tidak ada masalah sama sekali. Si perempuan sudah ‘taubat nasuha’, berati dosanya sudah 0%, dan apalagi setelah itu ia sempatkan diri untuk melakukan kebaikan, walaupun cuma satu kebaikan, yakni dengan memberi minum seekor binatang, meskipun itu anjing. Maka wajar-wajar saja ia dimasukkan ke dalam surga-Nya. Jadi, si perempuan tadi bukan masuk surga gara-gara ‘dosa-dosanya’, melainkan karena ‘kebaikannya’. Sekali lagi ‘kebaikannya’ yang dibarengi ridha-Nya.

Firman Allah swt dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ , أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. Ali-Imran [3]: 135-136)

Empat golongan yang kita bahas panjang lebar dari awal tulisan di atas sampai coretan saya saat ini adalah kelompok orang-orang yang ‘tidak normal’ alias cacat di mata Tuhan. Makanya, kelakuan mereka tidak bisa dibawa-bawa ke ridha-Nya Allah yang pada gilirannya, mereka-mereka itu tidak mungkin bisa bertemu dengan Allah swt. dan mustahil masuk surga-Nya.

Kenapa ? Simple saja. Karena, Allah Yang Maha Adil itu tidak akan meridhai yang ‘tidak normal’, yaitu mereka yang lupa sama Tuhan, pendosa, serakah dan tamak akan kehidupan dunia. Selama mereka belum bertaubat dan kembali kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya yang bukan sekedar ‘malih rupa’ semata. Di sisi lain, Dia dengan tangan terbuka menerima dan akan menempatkan orang-orang yang beriman, bertakwa dan beramal shalih di tempat yang sebaik-baiknya. Merekalah yang penulis istilahkan dengan ‘PARA NORMAL’ itu.

فَأَمَّا مَنْ طَغَى , وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا , فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى , وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى , فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka jahimlah tempat tinggal mereka (kelak di akhirat). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi’aat [79]: 37-39)

وَالَّذِينَ كَفَرواْ وَكَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا أُولَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 39)

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata. (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 30)

Perlu diingat bahwa manusia adalah makhluk kontradiktif, manusia bukan malaikat yang kertasnya selalu putih, bukan juga setan bin iblis yang bukunya penuh dengan coretan hitam. Melainkan, manusia adalah makhluk yang bisa berpahala dan sekaligus bisa berdosa, tergantung dari kadar dan kekuatan imannya. Dalam istilah Nabi saw: ‘Iman itu bisa naik dan bisa turun’.

Maka dari itu, saya, anda atau siapapun yang merasa diri sebagai manusia punya ‘banyak peluang’ untuk jadi manusia yang normal dan tidak normal itu. Agaknya untuk menjadi manusia yang ‘tidak normal’ mungkin mudah, tetapi untuk menjadi ‘para normal’ akan membutuhkan kerja keras dan perjuangan untuk senantiasa bisa berucap: Sami’na wa atha’na terhadap apa yang Allah tetapkan. Kalau dalam istilahnya para ulama, para normal harus selalu:   إمتثال المؤمورات واجتناب المنهيات meskipun sesekali khilaf dan lupa. Wajar, kan para normal juga manusia. Hihi

Saya tutup tulisan ini dengan seruan, ‘Wahai Kawan ! Jadilah Para Normal’. Jadilah para normal dalam artian seperti yang penulis kemukakan di atas. Bukan ‘para normal’ seperti yang terpahamkan selama ini. Karena memang, seperti itulah tujuan kita di desain oleh Dsainer Yang Maha Segala-galanya Itu. Allah swt. “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Wallahu a’lam bishshawaab !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar