Rabu, 08 Maret 2017

Ilmu Kalam (2): Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi


                                  Ilmu Kalam (2): Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi
Oleh:
Alwanul Haq

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia.Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuan di
masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kreativitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan.Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

Secara terperinci Ismail al Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut :

1)             Tauhid sebagai inti pengalaman agama.

Inti pengalaman agama adalah Tuhan, sehingga kalimah syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam tiada lain adalah realitas prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.

2)         Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.

3)         Tauhid sebagai intisari Islam.

Esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintahpun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid, tanpa tauhid Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah Nabi yang patut diragukan, tetapi bahkan pranata kenabianpun akan menjadi sirna.

4)         Tauhid sebagai prinsip sejarah.

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi dan Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.

5)         Tauhid sebagai prinsip pengetahuan.

            Berbeda dengan iman dalam agama Kristen, iman dalam Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran atau proposisi iman bukanlah misteri, melainkan bersifat kritis dan rasional.

6)         Tauhid sebagai prinsip metafisika.

Dalam Islam alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, alam bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah, alam merupakan kebaikan tidak mengandung yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian; keteraturan, ketertujuan, dan kebaikan ini menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam terhadap alam.

7)         Tauhid sebagai prinsip etika.

            Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat atau kepercayaan ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dan kehendak ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya.

8)         Tauhid sebagai prinsip tata sosial.

Dalam Islam tidak ada perbedaan antara manusia satu dan manusia lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap orang boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap maupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Karenya masyarakat Islam harus berusaha mengembangkan diri untuk mencakup seluruh umat manusia, sebab jika tidak ia akan kehilangan klaim keislamannya.

9)         Tauhid sebagai prinsip ummah.

Prinsip ummah tauhidi menyangkut tiga identitas, yaitu pertama menentang etnosentrisme, artinya bahwa tata sosial Islam adalah universal, menyangkut seluruh umat manusia tanpa kecuali (tidak hanya untuk segelintir etnis). Kedua, universalisme, artinya Islam bersifat universal yang meliputi seluruh umat manusia. Ketiga, totalitas, artinya Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalitas tata sosial Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, melainkan juga mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan, maksudnya tata sosial Islam adalah kemerdekaan, sebab jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa maka Islam akan kehilangan sifatnya yang khas.

10)     Tauhid sebagai prinsip keluarga.

Selama tetap melestarikan identitas diri dari gerogotan komunisme dan ideologi-ideologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk itu, karena ditopang oleh hukum dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.

11)     Tauhid sebagai prinsip tata politik.

Tata politik tauhid dengan kekhalifahan adalah saling keterkaitan. Kekhalifahan adalah kesepakatan tiga dimensi, yaitu kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-‘amal).

12)     Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi.

Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama, yaitu pertama bahwa tidak ada seorang atau kelompokpun boleh memeras yang lain. Kedua, tidak satu kelompokpun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.

13)     Tauhid sebagai prinsip estetika.

Tauhid tidak menentang kreativitas seni, kenikmatan, dan keindahan. Sebaliknya, Islam justru menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firmar-Nya.

Ket: Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar