Ilmu Kalam (5): Operasionalisasi Teologi Hasan Hanafi.
Oleh:
Alwanul Haq
Dari dua tawaran dari konsep yang penulis paparkan pada postingan sebelumnya,
ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi
dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Berikut ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hasan Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam, yaitu zat Tuhan, sifat-sifat
Tuhan dan soal tauhid.
Menurut Hanafi, konsep atau nash
tentang dzat dan sifat- sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian
Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh
pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Maha Suci dengan
segala sifat kesempurnaan-Nya.Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah
pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, atau insan kamil.
Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya
sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri
(cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self
feeling). Penyebutan Tuhan akan dzat-Nya sendiri
sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang
ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya,
menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud
(keberadaan), dan deskrip tentang sifat-sifat-Nya
berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran
yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan
ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka
sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan
harapan Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar
akan lingkungannya.
Disini terlihat Hanafi berusaha
mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar
material, dari yang teologis menjadi antropologis.Hanafi melakukan ini dalam
rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung
metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan
yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah lil-hawâdits, qiyâm binafsihdan wahdaniyah adalah sebagai berikut.
Pertama, wujûd disini tidak menjelaskan eksistensi atau
keberadan Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan.Tanpa manusia, Tuhan
tetap wujud.Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, yakni tuntutan
pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya.Oleh karena itu kematian
bukanlah ketiadaan nyawa, akan tetapi ketidakmampun untuk menunjukkan
eksistensi diri.
Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar
keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan
pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan,
sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.
Ketiga, baqa (kekal) berarti pengalaman
kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana, yakni tuntutan
pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang
konstruktif dalam
perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa
mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa
adalah ajaran pada manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan alam, serta
ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat
monumental.
Keempat dan kelima, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain)
dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu
menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor
atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyamuhu binafsih adalah
deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan
dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala
potensi dan kemampuan diri.
Keenam,wahdaniyah
(keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan dan pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang diarahkan
pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah kepada eksperimentasi kemanusiaan.Wahdaniah adalah pengalaman
umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan
nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Pemikiran philosofi hasan hanafi sudah dimulai sejak ia
mengenal idealisme jerman. Hasan hanafi adalah penganut idealisme –
esensialisme. Itulah pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek
at-turast wa at - tajdid (tradisi dan
modrenitas). Namun demikian, kesadaran pemikiran philosofi hasan hanafi pada
dasarnya ditemukan dan dibentuk diprancis pada akhir tahun1950. Pada saat itu,
ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoritis.
Hasan hanafi yang hendak membawa dunia islam bergerak menuju
pencerahan yang menyeluruh. Sebagai anak zaman, hasan hanafi merupakan sosok
pemikir yang unik.Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional
karena ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia banyak menyerap
pengetahuan barat. Ia mengonsentrasikan diri pada kajian pemikiran barat. pramodern
dan modern.Meskipun
ia menolak dan mengkritik barat, ide – ide liberalisme barat, demokrasi,
rasionalisme dan pencerahan telah memengaruhi pemikirannya oleh karena itu, ia
tergolong seorang modrenis – liberal. Salah satu keprihatinan utama hasan
hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia
islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Kita dapat melihat tiga rangka
memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia islam.
Yang pertama hasan hanafi peranannya sebagai seorang pemikir
revolusioner. Setelah revolusi islam iran menang , ia meluncurkan kiri islam.
Salah satu tugasnya adalah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan :
konsep inti islam pandangan dunia islam). Dalam hal ini, ia dapat
mengkategorikan sebagai pemikir islam revolosioner, seperti ali syariati.
Yang kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi
intelektual islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi muhammad abduh
(seorang pemikir terkemuka, 1849 - 1905). Sebagai seorang reformis tradisi
islam, hasan hanafi adalah seorang nasionalis sebagaimana abduh.
Yang ketiga adalah penerus gerakan al – afgani (1838 - 1896).
Al – afgani adalah pendiri gerakan islam modern, yang disebut sebagai suatu
perjuangan melawan inperialisme barat dan untuk memepersatukan dunia
islam.Terbagi imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan,
ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam kiri islam berfokus pada problem
– problem era ini.
Untuk membangun eksposisi sosok hanafi, yang mendimensikan
alun “protes,oposisi, dan revolusi “, pada bagian kedua, kusnadiningrat
menganstruk perkembangan pemikiran dan karya-karya dari hasan hanafi. Alur
uraian terbagi ke dalam tiga periode :” periode pertama berlangsung pada
tahun-tahun 1960-an ; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode
ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an .”
Periode 1960-an ialah periode hanafi menggerus filsafat dan
ilmu sosial di ranah prancis. Penggalianya (1956-1966) ini kelak memengaruhi
rekonstruksi pemikiran islam yang digelorakan hassan hanafi. Sementara mesir
tengah diombang – ambing gerakan
nasionalistik-sosialistik populistik,yang melontarkan ideologi pan arabisme,dan
kekalahan mesir dari israel (1967). Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama
berada di prancis ia mengadakan penelitian tentang ,terutama,metode
interprestasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fiqih (teori hukum
islam,islamic legal theori) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk
memahami agama dalam konteks realitas kontemporer.
Ket: Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar