Rabu, 08 Maret 2017

Ilmu Kalam (5): Operasionalisasi Teologi Hasan Hanafi.


Ilmu Kalam (5): Operasionalisasi Teologi Hasan Hanafi. 

Oleh:
Alwanul Haq

Dari dua tawaran dari konsep yang penulis paparkan pada postingan sebelumnya, ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Berikut ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hasan Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam, yaitu zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.

Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat- sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, atau insan kamil.

Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzat-Nya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan), dan deskrip tentang sifat-sifat-Nya berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan harapan Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis.Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah lil-hawâdits, qiyâm binafsihdan wahdaniyah adalah sebagai berikut.

Pertama, wujûd disini tidak menjelaskan eksistensi atau keberadan Tuhan, karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan.Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud.Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, yakni tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya.Oleh karena itu kematian bukanlah ketiadaan nyawa, akan tetapi ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.

Ketiga, baqa (kekal) berarti pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana, yakni tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan alam, serta ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.

Keempat dan kelima, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyamuhu binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.

Keenam,wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan dan pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah kepada eksperimentasi kemanusiaan.Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.

Pemikiran philosofi hasan hanafi sudah dimulai sejak ia mengenal idealisme jerman. Hasan hanafi adalah penganut idealisme – esensialisme. Itulah pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek at-turast wa at - tajdid (tradisi dan modrenitas). Namun demikian, kesadaran pemikiran philosofi hasan hanafi pada dasarnya ditemukan dan dibentuk diprancis pada akhir tahun1950. Pada saat itu, ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoritis.

Hasan hanafi yang hendak membawa dunia islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai anak zaman, hasan hanafi merupakan sosok pemikir yang unik.Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional karena ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia banyak menyerap pengetahuan barat. Ia mengonsentrasikan diri pada kajian pemikiran barat. pramodern dan modern.Meskipun ia menolak dan mengkritik barat, ide – ide liberalisme barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah memengaruhi pemikirannya oleh karena itu, ia tergolong seorang modrenis – liberal. Salah satu keprihatinan utama hasan hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Kita dapat melihat tiga rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia islam.

Yang pertama hasan hanafi peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Setelah revolusi islam iran menang , ia meluncurkan kiri islam. Salah satu tugasnya adalah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan : konsep inti islam pandangan dunia islam). Dalam hal ini, ia dapat mengkategorikan sebagai pemikir islam revolosioner, seperti ali syariati.

Yang kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi muhammad abduh (seorang pemikir terkemuka, 1849 - 1905). Sebagai seorang reformis tradisi islam, hasan hanafi adalah seorang nasionalis sebagaimana abduh.

Yang ketiga adalah penerus gerakan al – afgani (1838 - 1896). Al – afgani adalah pendiri gerakan islam modern, yang disebut sebagai suatu perjuangan melawan inperialisme barat dan untuk memepersatukan dunia islam.Terbagi imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam kiri islam berfokus pada problem – problem era ini.

Untuk membangun eksposisi sosok hanafi, yang mendimensikan alun “protes,oposisi, dan revolusi “, pada bagian kedua, kusnadiningrat menganstruk perkembangan pemikiran dan karya-karya dari hasan hanafi. Alur uraian terbagi ke dalam tiga periode :” periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an ; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an .”

Periode 1960-an ialah periode hanafi menggerus filsafat dan ilmu sosial di ranah prancis. Penggalianya (1956-1966) ini kelak memengaruhi rekonstruksi pemikiran islam yang digelorakan hassan hanafi. Sementara mesir tengah diombang – ambing  gerakan nasionalistik-sosialistik populistik,yang melontarkan ideologi pan arabisme,dan kekalahan mesir dari israel (1967). Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di prancis ia mengadakan penelitian tentang ,terutama,metode interprestasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fiqih (teori hukum islam,islamic legal theori) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer.

Ket: Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar