ISTIHSAN
Oleh:
Alwanul Haq
1.
Definisi Istihsan
a.
Makna Etimologi
Istihsan menurut Etimologis
(bahasa) adalah menganggap baik sesuatu [1][1]. “Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih
baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk di ikuti,
karena memang di suruh untuk itu”[2][2].
Istihsan secara bahasa juga berasal dari kata bentukan (musytaq)
dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri
kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak
baik oleh orang lain.
Dari lughawi di atas tergambar adanya
seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk
mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya lebih baik untuk
diamalkan.
b. Makna Terminologi
Istihsan menurut terminologi (istilah)
ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias
yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian
karena ada kesalahan pemikiran yang
kemudian memenangkan perpindahan itu.
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang
kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut”.
Sedangkan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid
terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan
pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
2. Dasar Hukum Istihsan
a) Al-qur’an
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar : 18
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar : 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
b) Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا
رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,
maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
3. Kedudukan atau Kehujjahan ishtisan
Ulama berbeda pendapat menetapkan istihsan sebagai salah satu metode
istimbat hukum. Ulama hanafiah, malikiah, dan sebagian ulama hanabilah
menyatakan bahwa istihsan meruapakan dalil yang kuat dengan alasan:
a) Mengunakan istihsan sebagai dalil syara'
yaitu mencari kemudahan dan meninggalkan
kesulitan.
Firman allah SWT
:
ßÌã ª!$#
ãNà6Î/ tó¡ãø9$#
wur
ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...(Qs. Albaqarah: 185)
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù't Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur w
crããèô±n@ ÇÎÎÈ
Artinya :
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”(QS.Azzumar:55)
b) Ucapan Abdullah bin Mas'ud
"Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di pandang
baik oleh Allah"
4.
Macam-macam al istihsan
Ditinjau berdasarkan
pengertian istihsan yang telah dikemukakan, pada pokoknya istihsan dapat
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas)
dari qiyas jali (jelas), karena adanya
dalil yang mengharuskan pemindahan itu, Istihsan dalam bentuk ini, disebut dengan
istihsan qiyasi.
Contoh:
Sisa makanan pada
binatang yang haram di makan berdasarkan qiyas adalah najis, karena dengan
jalan qiyas dijelaskan bahwa sisa yang masih ada pada binatang tersebut hukumnya
adalah haram, karena hukumnya mengikuti daging binatang buas tersebut, seperti
harimau, sibak maupun serigala. Menurut istihsan, sisa makanan binatang buas
yang dagingnya haram di makan seperti burung garuda, gagak, elang dan rajawali
adalah suci, karena tidak terjadi percampuran dengan sisa yang masih ada pada
binatang tersebut, sebab ia minum menggunakan paruh yang suci. Sedangkan
binatang buas seperti harimau, sibak maupun serigala lidahnya bercampur
dengan air liur, dan
ia minum menggunakan lidahnya, maka
sisanya adalah najis.
2) Mengecualikan juz'iyah (khusus/parsial)
dari hukum kully (umum) yang
didasarkan
atas dalil khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua ini di sebut dengan
istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di bagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
a)
Istihsan bi an-Nashash, yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan umum
kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena
adanya nash yang mengecualikannya, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah.
Contoh:
Menurut ketentuan umum, ketika seseorang meninggal
maka ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena beralih kepada ahli
warisnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan oleh Al-Qur'an yang
menetapkan berlakunya ketentuan wasiat
setelah seseorang meninggal.
Firman Allah SWT:
`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5
÷rr&
Aûøïy
Artinya :
“Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar hutangnya”(Q.S. An-nisa ;12)
Sedangkan
contoh istihsan istitsna'i yang bersandar pada Sunnah ialah tidak batalnya
puasa seseorang yang makan dan minum karena lupa, padahal sesuai ketentuan umum
makan dan minum membatalkan puasa. Ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh
hadis yang Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra, katanya,
Rasulallah saw bersabda:"Barangsiapa yang lupa padahal ia berpuasa,
kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya".
b) Istihsan bi al-Ijma' yaitu suatu pengalihan hukum dari
ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, hal ini
disebabkan karena adanya ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
Contoh:
Rasullah
saw bersabda yang Artinya:
"Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu".
Berdasarkan
Hadis di atas, maka melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada adalah
batal. Namun, hal tersebut boleh dilakukan, karena sejak dulu
praktek tersebut masih berlangsung, tanpa ada larangan dari ulama. Sikap ulama
tersebut di pandang sebagai ijma’.
c)
Istihsan bi al-Urf yaitu suatu pengecualian hukum dari prinsip syari'ah yang
bersifat umum kepada ketentuan yang lainnya, berdasarkan atas kebiasaan yang
berlaku.
Contoh:
Berdasarkan
ketentuan umum, dalam menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu
secara pukul rata, tanpa membedakan dekat maupun jauhnya jarak yang di tempuh
adalah terlarang. Namun, kebiasaan tersebut
diperbolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, demi menghindarkan kesulitan dan terpeliharanya
kebutuhan masyarakat terhadap transaksi tersebut.
d)
Istihsan bi ad-Dharurah yaitu terdapatnya keadaan darurat untuk mengecualikan
ketentuan yang umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan dalam
mengatasi keadaan darurat.
Contoh:
Menurut
ketentuan umum, hukum air sumur yang kejatuhan najis adalah tetap najis,
walaupun dengan cara menguras airnya. Sebab, ketika air sumur di
kuras, maka mata air akan tetap mengeluarkan air yang kemudian akan
bercampur dengan air yang terkena najis. Namun, untuk mengahapi keadaan
darurat, maka air sumur dihukumi suci setelah di kuras.
5.
Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas
kelompok hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah
mengambilan dalil dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau
memenangkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum
dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan
dalil yang benar.
6. Alasan ulama yang tidak berhujah dengan istihsan
Sebagian kelompok mujtahid menginkari kebenaran istihsan, mereka
menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri.
Diantara tokohnya adalah Imam Syafii, seperti telah di nukil darinya; Siapa
yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat
syariat sendiri. Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan
orang yang menetapkan hukum dengan istihsan adalah seperti orang sholat menghadap ke arah yang di anggap baik itu ka’bah, tanpa
menggunakan dalil-dalil yang di tetapkan oleh syar’i dalam menetukan arah
ka’bah.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa istihsan adalah berenak enak, seandainya
melakukan istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan
orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh
menciptakan Syariat dalam agama di setiap permasalahan, serta setiap orang
boleh membuat syariat untuk dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar